PEMBUNUH YANG TERBUNUH

Oleh Husnul Aqib

Ia masih saja menggenggam belati itu. diujung belati itu masih menetes percikan – percikan darah yang masih segar dan dihadapannya sebuah mayat telah terbujur kaku dengan luka dibagian dada dan perutnya, yah……ia baru saja melakukan tindak kriminal dengan keji. Telah menghilangkan nyawa seseorang – membunuh - tapi kedua tangannya gemetar dan air matanya menetes dari kelopak matanya yang begitu bening, ia menangis seolah – olah ia tak terbiasa melakukan hal seperti ini dan tak ingin kejadian itu terulang.

Seandainya bukan karena dendam ia tak akan pernah melakukan ini. Sesuatu yang paling dibencinya, mengerikan! selalu membuat ia tegang ketika menyaksikan fenomena seperti ini di layar kaca atau hanya mendengarnya di radio, bahkan ia sesekali menutup mata dan telinga atau cepat – cepat mengganti channel televisi dan radio saat ia mendengar dan melihat berita tragedi itu. Kini apa yang ia takutkan dan apa yang ia rasakan benar – benar terjadi. Bukan lagi sebuah ilusi atau bayang – bayang yang pernah menghantuinya walau hanya sekedar lewat melalui mimpi ataupun melalui perasaan yang tak pernah ia harapkan. Dan ia adalah korban sekaligus pelaku.

Tepat sebulan yang lalu. Pada malam hari, di saat orang - orang sekitarnya tengah tertidur lelap
menekuni mimpi–mimpi mereka, begitupula ayah, ibu dan adik perempuannya, tapi beda hal dengannya ia bangkit dipertengahn malam itu, mengambil air dan mensucikan diri berharap bertemu sang Khaliq dalam munajatnya, namun belum sempat ia menyelesaikan tugasnya dipertengahan malam itu terdengar suara keras dari balik pintu rumahnya. ia kedatangan dua orang yang tak ia kenal memakai topeng hitam dan masing – masing menggenggam dua bilah badik, tapi ia masih dalam kekhusyannya mengabdi pada sang pencipta – shalat lail – saat ia mendengar teriakan adik perempunnya ia baru menyadari bahwa telah terjadi sesuatu dalam rumahnya, iapun bergegas menghentikan zikir – zikir panjangnya yang masih menyisakan setengah, namun ia terlambat ia kini hanya menyaksikan kedua orang tuanya bersimbah darah dan saat ia mencari adiknya ia masih beruntung sebab ia masih bisa mencegah keberingasan dua orang penjahat itu merampas dan mencabik – cabik harga diri adiknya, lalu dengan jurus taekwondo yang pernah ia pelajari ia berhasil membuka topeng dua orang itu, iapun mngenalnya dan selalu mengingat – ingat dua wajah itu sebelum sempat melarikan diri.

Setelah kejadian itu, aliran darah ditubuhnya mulai memuncak dan mengeluarkan uap yang mendidih matanya tajam.bak harimau yang tengah berhadapan dengan mangsanya. ia telah kehilangan kedua orang yang sangat ia cintai, ibunya yang dengan susah payah melahirkannya dan ayahnya yang membanting tulang untuk dirinya dan adiknya begitu juga dengan adiknya sejak kejadian itu ia selalu mengurung diri di kamar, dan tak pernah lagi mau berbicara meskipun dengannya. adiknya trauma dan jiwanya mulai labil mencoba bunuh diri dengan mengiris urat nadinya, namun sempat dicegah.. ia menyimpan dendam, tapi ia sadar masih ada yang berhak untuk menangani hal ini, ia tak mau main hakim sendiri. Ia tak pernah tahu masalah apa yang menyebabkan dua orang bertopeng itu mendatangi rumahnya dan membunuh kedua orang tuanya serta hampir memperkosa adiknya adakah ia dan keluarganya berbuat kesalahan? Adakah yang menyimpan api kemarahan terhadap dirinya dan keluarganya? ia mencoba mengingat – ingat, namun ia tak menemukan titik – terang untuk itu. Sebab yang ia tahu selama ini ia tak pernah merasa mempunyai musuh. Ia mencoba segera melaporkan hal ini ke aparat.

Namun setelah ia tahu aparat tak mampu lagi menangani masalah ini, iapun mulai bertindak sendiri, mencari dua orang itu demi menuntaskan dendamnya, ia mulai berani. Sebulan setelah kejadian itu ia temukan pembunuh itu berjalan dalam lorong gelap. Ia kenal sekali, si rambut pirang yang hamper memperkosa adiknya beserta temannya berkumis dan berkepala plontos. tanpa basa basi dan tanpa ampun ia menghunus belati ke dada dan perut si pirang, menuntaskan dendamnya, crashh……..cairan merah muncrat dari tubuhnya “bajingan….bukankah seperti ini yang kau perbuat terhadap kedua orang tuaku?” batinnya dalam hati “engkau perlakukan mereka seperti binatang tanpa mengetahui masalah yang sebenarnya”. Teriaknya. Entah sadar ataupun tidak. Atau mungkin setan menjelma dalam raganya. Saat ia mencoba kembali menancapkan belati itu pada si plontos, ia tak kuat, ia menyerah dan tak tahan lagi, ia biarkan belati itu tetap berada dalam genggaman tangannya yang mengepal. Semakin gemetar. Ia tak tega melihat si plontos bersimbah air mata dan bercucuran keringat. Memohon ampun dihadapannya. Mengakui kesalahannya. “ pergiii…..” ancamnya. “ aku bukan pembunuh “ .
Ia masih saja menangis hingga air matanya menyerupai lautan dan keringatnya mengalir membasahi tubuhnya mengikuti irama getaran jiwanya yang suadah tak menentu. Ia tak peduli yang pasti ia telah menuntaskan dendamnya, walaupun masih menyisakan satu orang tapi ia tak kuat, tak tahan lagi berbuat sekeji ini. Ia mulai bingung apa yang akan ia lakukan terhadap dirinya dan terhadap seonggok mayat yang terbujur kaku dihadapannya. Sementara orang – orang disekelilingnya menatapnya dengan wajah takut dan tak mau mendekat walau hanya sekedar memberi pertolongan. seakan – seakan ia adalah serigala buas yang siap menerkam mangsanya atau mereka berpikir kalau ia adalah seorang pembunuh. Tapi siapa yang akan mereka tolong, iakah atau mayat itu? Sampai akhirnya polisi datang, memborgol tangannya, ia pasrah, ia puas walau ia tak pernah merasa bersalah. Ia digiring ke jeruji besi. Di dalam itu ia masih menyimpan pertanyaan tentang pembunuhan kedua orang tuanya yang belum tuntas. Ada yang bilang makar, ada yang bilang sengketa tanah, dan masih banyak lagi. Dan pertanyaan tentang aparat yang tak mampu mengungkap masalah ini untuk menemukan jawabannya.

Penulis adalah ketua bidang pengembangan SASTRA HIMAS PUSAT
mahasiswa ilmu komunikasi universitas islam negeri (uin) sunan kalijaga yogyakarta semester V
Alamat jl. Pedak baru no. 421A RT 15 RW 17 Banguntapan Bantul

Tidak ada komentar: